Langsung ke konten utama

Ham advokasi dan pembanguan : pembagunan yang berkelanjutan


Negara-negara di dunia saat ini sudah mulai disibukkan dengan kelanjutan dari Protokol Kyoto. Tidak bisa dipungkiri, permasalahan iklim mendesak untuk dicari jalan keluarnya. Tanpa adanya komitmen yang kuat, bumi perlahan namun pasti berjalan menuju ambang kehancuran.

Terkait masalah ke depan, beberapa hal yang berkaitan dengan lingkungan akan berada dalam fokus penuh negara-negara dunia. Bukan hanya masalah perusakkan hutan namun juga lebih kepada bagaimana untuk menciptakan sebuah proses pembangunan yang berkelanjutan. Hal ini tidak bisa dihindari mengingat industri sebagai bagian dari roda perekonomian adalah sebuah koin dengan satu sisi yang eksploitatif dan sisi yang lain adalah penggerak kemajuan. Oleh karena itu, isu mengenai pembangunan yang berkelanjutan ini penting untuk dijadikan fokus.

Sustain

“Pembangunan sekarang harus sustain.” Begitulah ucapan beberapa dosen kepada mahasiswanya dalam kuliah yang diselenggarakan. Masalahnya sekarang adalah sudahkah pembangunan ini mengarah kepada sesuatu yang sustainable atau dalam artian berkelanjutan?

Berkelanjutan di sini pun tidak bisa dimaknai secara sempit sebatas pada berlanjutnya dominasi ekonomi dan aliran keuntungan finansial bagi sebuah perusahaan. Lebih dari itu, berkelanjutan di sini memiliki paradigma yang lebih holistik mencakup manusia dan juga lingkungan.

Ada sebuah pola pikir yang menarik yakni memikirkan pembangunan yang sustainableadalah pembangunan yang berkonsep pada 3P: People, Planet, and Profit.

People adalah manusia. Pembangunan yang berkelanjutan sudah seyogianya memikirkan manusia sebagai aspek yang tidak bisa dipisahkan. Manusia di sini pun tidak sebatas pada memberikan upah layak kepada buruh mereka. Lebih dari itu, manusia di sini harus dilihat secara keseluruhan mencakup manusia-manusia di sekeliling pembangunan itu berlangsung. Masyarakat adat yang selama ini sering terpinggirkan dalam proses modernisasi kini harus dilibatkan dalam proses pembangunan yang berkelanjutan.

Lebih dari itu, sebuah pembangunan berkelanjutan pun harus bisa melihat dampak ke depan untuk generasi yang akan datang. Pembangunan berkelanjutan harus mempertimbangkan dan memastikan tidak adanya kerugian yang harus ditanggung oleh generasi yang akan datang.

Planet adalah bumi. Pembangunan yang berkelanjutan tidak bisa lagi bersifat eksploitatif. Dalam pandangan Fiskel, industri yang berkembang sudah seharusnya menerapkan konsep lingkungan yang terintegrasi dengan proses produksinya. Artinya permasalahan lingkungan tidak bisa lagi dianggap sebagai sesuatu yang berkontribusi negatif terhadap benefit perushaan. Lebih dari itu, hal itu harus dilihat sebagai upaya dalam menjaga bumi yang lebih baik.

Terakhir adalah profit yang berarti keuntungan. Disinilah paradigma konvensional keuntungan harus diubah. Keuntungan tidak bisa semata-mata diartikan sebagai keuntungan finansial. Lebih dari itu, keuntungan ini harus dilihat dari berbagai kacamata terutama dari sisi planet dan people. Keuntungan pengerukkan sumber daya alam yang membuat sebuah gunung dari cembung menjadi cekung tentu tidak akan pernah sebanding dengan dipinggirkannya masyarakat adat dan dampak langsung dan tidak langsung terhadap lingkungan.

Pangan dan energi

Pentingnya konsep pembangunan yang berkelanjutan ini berhubungan dengan dua isu krusial: pangan dan energi. Manusia tidak bisa hidup tanpa tersedianya pangan yang memadai dan energi pun terus dibutuhkan sebagai bagian dari kebutuhan menjalankan proses. Dua isu ini erat kaitannya dengan pembangunan yang berkelanjutan.

Pangan memiliki dimensi sosial yang sangat kental. Manusia bisa saling membunuh untuk mendapatkan makanan sebab pangan adalah akses hidup untuk manusia. Oleh karena itulah pangan harus dipasok secara berkesinambungan untuk mencegah timbulnya konflik sosial akibat tidak tersedianya pangan yang memadai. Pertanyaannya sekarang adalah: sudahkah pangan sekarang menjawab tantangan pembangunan berkelanjutan?

Jika melihat realitas bangsa Indonesia sendiri yang masih harus mengimpor beras meskipun di tahun sebelumnya melakukan ekspor tentu saja jawaban yang akan muncul adalah belum. Namun, sustainability tidak bisa dipertimbangkan hanya dari sana. Dimensi sustain dari pangan harus dilihat dari kacamata pengolahan tanaman pangan.

Sampai saat ini, penanaman pangan masih didonimasi oleh penggunaan pupuk urea dan pupuk ini juga yang disubsidi oleh pemerintah Indonesia untuk petani. Apakah memuaskan? Ya, buktinya Indonesia bisa mengekspor beras di tahun lalu. Namun jawaban sesungguhnya tidak semudah itu.

Urea diproduksi menggunakan amonia. Amonia sendiri menggunakan gas alam sebagai bahan bakunya. Gas alam sendiri adalah sumber daya yang tidak terbarukan. Artinya, selama ini cara penanaman tanaman yang dilakukan sama sekali tidak sustain. Oleh sebab itu, akan ada suatu era ketika gas alam habis dan mengakibatkan pabrik urea berhenti berproduksi dan membuat tanaman tidak bisa lagi tumbuh karena tidak adanya pupuk. Akibatnya, ada masa ketika manusia harus menghadapi kelaparan besar karena gas alam yang habis.

Disamping itu, urea sendiri mengganggu keseimbangan mikroorganisme yang sedianya bekerja di dalam tanah. Artinya, jika dulu tanaman melakukan siklus hidupnya dengan bantuan mikroorganisme, kini mikroorganisme itu dibiarkan tidak bekerja dan mati dan digantikan perannya oleh urea dalam memasok nitrogen dan unsur hara lainnya. Jika demikian, jelaslah tanaman tidak akan lagi bisa tumbuh seiring dengan stok urea yang habis.

Masalah inilah yang seharusnya turut menjadi perhatian pembangunan yang berkelanjutan. Jangan sampai pangan yang ada mengorbankan generasi penerus dan juga merusak alam yang ada melalui perusakan siklus alami yang sudah ada. Seorang dosen penulis dalam kuliahnya hanya menawarkan satu solusi untuk masalah ini: kembali ke alam menggunakan pupuk kompos dan beliau sendiri yang sudah menunjukkan betapa efektifnya pupuk kompos dalam meningkatkan produktivitas lahan pertanian.

Terkait energi, masalah ini sebenarnya sudah dijawab dengan cukup baik oleh negara sekelas Brazil yang menyusun kebijakan yang mendukung pembangunan konsep energi berbasis biomassa. Untuk Indonesia, masalah ini masih harus menunggu komitmen pemerintah untuk berani menerapkan biomassa sebagai sumber energi.

Hal yang perlu dicatat di sini adalah biomassa ini sangat fluktuatif dan sangat bergantung pada harga minyak. Jika harga minyak sedang tinggi, maka biomassa akan bersinar dan ketika minyak dunia sedang murah, biomassa ini redup. Konsistensi biomassa sebagai sumber energi inilah yang harus diterapkan dalam proses pembangunan yang berkelanjutan disamping penyadaran akan tidak terbaharuinya sumber daya minyak sebagai sumber energi dan betapa proses pembakaran bahan bakar fosil terus berkontribusi terhadap penimbunan gas rumah kaca di atmosfer.

Masih banyak dimensi lainnya jika ingin digali lebih dalam seiring dengan konsep pembangunan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, pembangunan berkelanjutan dirasa sangat perlu untuk diterapkan tidak hanya sebatas pada industri yang menanam pohon sebagai bagian dari upaya penghijauan. Namun lebih dari itu, ia harus diterapkan sebagai bagian dari upaya pengelolaan yang matang terkait masalah-masalah krusial semisal pangan dan energi di atas dengan secara konsisten memasukkan konsep people, planet, and profit

sumber: https://www.kompasiana.com/nicholausprasetya/berpikir-pentingnya-pembangunan-berkelanjutan_550ac87fa333119c1e2e399a

Komentar