Marsinah adalah seorang aktivis dan buruh pabrik PT. Catur Putra
Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang diculik dan kemudian ditemukan
terbunuh pada 8 Mei 1993 setelah menghilang selama tiga hari. Mayatnya
ditemukan di hutan di Dusun Jegong Kecamatan Wilangan Nganjuk, dengan
tanda-tanda bekas penyiksaan berat.
terdpat dua orang yang terlibat dalam otopsi pertama dan kedua jenazah
Marsinah, Haryono (pegawai kamar jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen
Atmodirono (Kepala Bagian Forensik RSUD Dr. Soetomo Surabaya), menyimpulkan,
Marsinah tewas akibat penganiayaan berat.
Awal tahun 1993, Gubernur KDH TK I Jawa Timur mengeluarkan surat
edaran No. 50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan
kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji
pokok. Himbauan tersebut tentunya disambut dengan senang hati oleh karyawan,
namun di sisi pengusaha berarti tambahannya beban pengeluaran perusahaan. Pada
pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya (PT. CPS) Porong
membahas Surat Edaran tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan PT. CPS
memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah
dari Rp 1700 menjadi Rp 2250.
Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putera Perkasa
yang aktif dalam aksi unjuk rasa buruh. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk
rasa tersebut antara lain terlibat dalam rapat yang membahas rencana unjuk rasa
pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggul Angin Sidoarjo.
3 Mei 1993, para buruh mencegah teman-temannya bekerja. Komando
Rayon Militer (Koramil) setempat turun tangan mencegah aksi buruh.
4 Mei 1993, para buruh mogok total mereka mengajukan 12
tuntutan, termasuk perusahaan harus menaikkan upah pokok dari Rp 1.700 per hari
menjadi Rp 2.250. Tunjangan tetap Rp 550 per hari mereka perjuangkan dan ont
diterima, termasuk oleh buruh yang absen.
Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama
rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan. Marsinah
menjadi salah seorang dari 15 orang perwakilan karyawan yang melakukan
perundingan dengan pihak perusahaan.
Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap
menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di
tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah
menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan sempat
mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang
sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah
lenyap.
Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh
rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei
1993.
Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu
Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus
pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim
dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan penyidik/penyelidik
Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.
Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa
prosedur resmi, termasuk Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan
satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental
selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V
Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat control
dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS, Yudi Susanto, juga
termasuk salah satu yang ditangkap
Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam
di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara
Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat
kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah.
Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang
yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang
yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI.
Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di
bagian ontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos
Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke
rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah
disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan
sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun
mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas.
Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia
membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah
Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak
sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah “direkayasa”.
Marsinah memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien pada 1993. Ia
menjadi simbol perjuangan kaum buruh. Kasus ini pun menjadi catatan Organisasi
Buruh Internasional atau ILO, dikenal sebagai kasus 1713. Namun, pembunuh yang
sebenarnya belum menerima hukuman.
Kasus diatas menunjukkan masih banyaknya pelanggaran HAM di
Indonesia. Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau sekelompok
orang baik disengaja maupun tidak mengganggu atau mencabut hak asasi orang
lain. Kasus diatas dapat digolongkan dalam kejahatan terhadap kemanusiaan,
yaitu salah satu kegiatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang
meluas atau sistematikdan serangan tersebut dijtujukan langsung terhadap
penduduk sipil berupa :
ØPembunuhan;
ØPemusnahan;
ØPerbudakan;
Øpengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
ØPerampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain
secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum
internasional;
ØPenyiksaan;
ØPerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa,
pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau
bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara,
ØPenganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan
yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama,
jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal
yang dilarang menurut hukum internasional;
ØPenghilangan orang secara paksa;
ØKejahatan apartheid.
Upaya yang dapat dilakukan untuk menegakkan HAM dilakukan dalam
dua bentuk, yaitu pencegahan dan penindakan. Pencegahan merupakan upaya
menciptakan kondisi yang semakin kondusif bagi penghormatan HAM. Sedangkan
penindakan merupakan upaya untuk menangani kasus pelanggaran HAM berdasarkan
ketentuan hokum yang berlaku. Dalam upaya pencegahan terjadinya pelanggaran
terhadap HAM, pemerintah melalui peraturan perundang-undangan yang dibuatnya,
dimasukkanlah masalah HAM tersebut. Selain itu, juga dapat dilakukan dengan
cara :
·Pelayanan, konsultasi, pendampingan dan advokasi bagi
masyarakat yang menghadapi kasus HAM, biasanya dilakukan oleh Lembaga Bantuan
Hukum.
·Penerimaan pengaduan dari korban pelanggaran HAM, Komnas HAM,
lembaga bantuan hukum, dan LSM HAM memiliki peranan penting.
·Investigasi, yaitu pencarian data,informasi, fakta yang
berkaitan dengan peristiwa pelanggaran HAM, merupakan tugas Komnas HAM dan LSM
HAM.
·Penyelesaian perkara melali perdamaian, negosiasi, mediasi,
konsiliasi, dan penilaian ahli, tugas Komnas HAM.
·Penyelesaian pelanggaran HAM berat melalu proses peradilan di
pengadilan HAM, misalnya kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan.
Sumber :
Komentar
Posting Komentar